Developing Suistainable Microfinance Systems for SME’s

Developing Suistainable Microfinance Systems for SME’s

Sejarah membuktikan bahwa perjalanan panjang UMKM di Indonesia telah mampu berkonstribusi dalam perekonomian nasional.Kementerian Koperasi dan UMKM (2012) mencatat bahwa 99,99% komposisi unit usaha di Indonesia adalah sektor UMKM, di mana konstribusi terbesar diciptakan oleh usaha mikro sebesar 98,79% (55.856.176 unit), sedangkan jumlah Usaha Kecil di Indonesia mencapai 1,11% (629.418 unit). Jumlah tersebut sangat berbeda jauh dengan Usaha Menengah (48.997 unit atau 0,09%) maupun Usaha Besar yang tercatat kurang dari 1% (hanya 4.968 unit) dari total pelaku usaha di Indonesia. Begitupun dalam aspek penciptaan lapangan kerja, usaha mikro telah mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 99.869.517 orang (90,12% dari total penyerapan tenaga kerja yang ada), jumlah tersebut masih jauh lebih besar dibandingkan dengan Usaha Kecil baru mampu menyerap tenaga kerja 4.535.970 orang (4,09%), usaha menengah sebesar 3.262.023 orang (2,94%) dan usaha besar sebesar 3.150.645 orang (2,84%).Kontribusi UMKM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) juga tercatat lebih besar dibandingkan dengan konstribusi Usaha Besar. Pada tahun 2012 Usaha Besar hanya mampu berkontribusi sebesar 40,92% sedangkan UMKM sebesar 59,08% dari total PDB Nasional. Meskipun jika dilihat per sektor, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah konstribusi terhadap PDB masih kalah di bandingkan Usaha Besar.Pada tingkatan operasional, UMKM juga masih dihadapkan pada permasalahan klasik, seperti keterbatasan modal, lemahnya kemampuan manajerial, minimnya akses pasar, dan belum meleknya terhadap perkembangan teknologi.

Dari berbagai permasalahan klasik tersebut, permasalahan terkait permodalan menjadi urgen untuk segera diselesaikan. Pemerintah telah berupaya untuk meningkatkan dan mengembangkan UMKM dalam  perekonomian melalui pemberian kreditmikro bagiUMKM. Secara universal pengertian kredit mikro sebagaimana yang dicetuskan dalam pertemuan The World Summit in Microcredit di Washington pada tanggal 2-4 Februari 1997 adalah program atau kegiatan memberikan pinjaman yang jumlahnya kecil kepada masyarakat golongan kelas menengah ke bawah untuk kegiatan usaha meningkatkan pendapatan maupun untuk mengurus dirinya sendiri dan keluarganya (The World Summit in Microcredit, 2007). Di Indonesia, kredit bagi UMKM diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM di mana peran pemerintah dalam hal penyaluran kredit mikro adalah sebagai pengatur kebijakan dan pengatur distribusi kredit mikro bagi UMKM. Hal ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan melalui program kredit mikro bagi UMKM.

seminar des2

Secara teknis, peran pemerintah dalam kredit mikro tersebut dapat dilihat dari program KUR sebagai modal pembiayaan yang dapat diakses oleh UMKM.Peran pemerintah dalam pembiayaan kredit UMKM ini adalah pada sisi penyediaan dana APBN untuk subsidi bunga pembiayaan kredit, sementara dana kredit/pembiayaan seluruhnya (100%) berasal dari bank-bank yang ditunjuk pemerintah sebagai bank pelaksana. Tujuan dari KUR tersebut adalah untuk menjadi solusi pembiayaan modal yang efektif bagi usaha mikro.Selama ini pendistribusian menjadi tanggung jawab perbankan sesuai dengan amanat UU Nomor 20 pada pasal 21 bahwa BUMN ataupun unit usaha dapat menjadi penyalur pinjaman, hibah ataupun bentuk lain sebagai bentuk bantuan usaha mikro kecil. Akan tetapi selama ini banyak usaha mikro yang terkendala untuk akses terhadap perbankan untuk mendapatkan bantuan pembiayaan. Syarat feasebility dan bankability masih sulit untuk dipenuhi oleh pengusaha UMKM, sehingga dana yang terserap tidak bisa optimal. Bank Indonesia mencatat pada tahun 2011, target penyaluran kredit untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) mencapai Rp 128,2 triliun, akan tetapi realisasinya hanya sebesar Rp 85,6 triliun atau 66,8%. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua anggaran kredit mikro dapat dioptimalkan oleh UMKM.

Terbaru, data yang dirilis oleh Bank Indonesia juga mengungkapkan bahwa serapan kredit mikro oleh usaha mikro masih terkecil dibandingkan dengan usaha kecil, menengah, dan besar.Hal ini menunjukkan bahwa terjadi fenomena yang anomali dimana komposisi usaha mikro yang terbesar di Indonesia belum dibarengi dengan tingkat penyerapan terhadap kredit mikro yang ditawarkan pemerintah dan atau perbankan.Begitupun pula dengan jumlah NPL yang dihasilkan dimana NPL untuk kredit usaha mikro lebih kecil dibandingkan kredit usaha kecil.Artinya, usaha mikro mempunyai NPL yang paling rendah namun tingkat penyerapan terhadap kredit usaha mikro juga paling rendah.Pada triwulan I tahun 2015, Bank Indonesia mencatat sebagian besar kredit UMKM disalurkan pada kredit usaha menengah yaitu 48,1% dan hanya sebesar 28,5% dan 23,4% untuk kredit usaha kecil dan usaha mikro. Sedangkan tingkat NPL, tercatat pada triwulan IV 2014, jumlah terbesar disumbangkan oleh kredit usaha kecil sebesar 5,59% dan terendah usaha mikro sebesar 3,68%.

Jika melihat urgensinitas diatas, keuangan mikro telah banyak membuka mata dunia terutama bangsa Indonesia bahwa peranannya sangat penting untuk mendukung laju perekonomian, meningkatkan kemakmuran, dan menjadi alat pemerataan kesejahteraan. Rendahnya akses sektor UMKM terhadap pembiayaan ini menjadi tantangan tersendiri bagi perbankan sebagai lembaga keuangan formal yang mendistribusikan kredit mikro.Oleh karena itu, peningkatan dan penguatan sektor keuangan mikro mutlak dilakukan.Lembaga keuangan mikro dan perbankan yang menyalurkan ke sektor mikro perlu untuk mulai menyediakan likuiditas sendiri dan tidak bergantung pada program pemerintah. Langkah ini dipercaya akan memungkinkan pertumbuhan pembiayaan ke sektor usaha mikro, kecil dan menengah secara berkelanjutan. Bagi pemerintah, perlu upaya untuk memperkuat sistem keuangan negara yang pro terhadap pertumbuhan dan perkembangan UMKM sebagai motor penggerak perekonomian nasional. Selain itu, perlu diperkuat model pendampingan bagi UMKM, termasuk pasar dan jaringan kerja sama dengan pelau usaha lain. Kebutuhan pendampingan usaha ini sama pentingnya dengan kebutuhan pembiayaan. Pada awalnya, sebagian pelaku usaha kelihatan tidak bisa menghadapi persoalan ketika memulai usaha.Namun, di tengah jalan, mereka mengalami kesulitan ketika harus memasarkan produk dan memperluas skala usaha, khususnya bagi usaha mikro. Padahal komposisi usaha mikro di Indonesia tercatat paling besar (98,79%) dibanding dengan Usaha Kecil, Menengah dan Besar.Oleh karena itu, upaya pengentasan kemiskinan mempunyai korelasi yang cukup kuat dengan tumbuh kembangnya sektor UMKM, khususnya mikro.

Berdasar latar belakang diatas, Kelompok Kajian dan Pengembangan UKM (K2PU) Universitas Brawijaya menyelenggarakan seminar ilmiah dengan tema “Developing Suistainable Microfinance Systems for SME’s

Related Posts
Leave a Reply

Your email address will not be published.Required fields are marked *